TRADISI MUDIK IDUL FITRI
Bahagia itu nampak terpancar pada wajah anggota keluarga tatkala perjalanan mudik lebaran. Suasana demikian merupakan hal wajar sebab apa yang diharapkan dan telah dipersiapkan selama kurang lebih setahun lamanya baru saja teralami.
Seperti yang siang ini saya alami sepulang Salat Idul Fitri 1 Syawal 1445 Hijriah, bertepatan dengan tanggal 10 April 2024, kami melakukan perjalanan mudik menuju Purwakarta. Tujuan utama mudik selain berlebaran dengan orang tua (ibu) dan saudara, juga menjemput Ibu untuk dilanjut perjalanan mudik ke Garut (kampung halaman suami). Kami sekeluarga termasuk cucu pertama yang berusia belum sampai tiga tahun turut serta dalam perjalanan mudik ini.
Sebagaimana Bapak ajarkan dulu ketika masih ada, Beliau selalu menanamkan bahwa bawalah anak-anak mudik ke desa selagi ada waktu. Dan memang usahakan minimal satu tahun sekali mudik ke desa. Kenalkan anak-anak pada saudara dan situasi desa agar kelak mereka tidak melupakan saudara dan kampung halamannya.
Rencana tinggal rencana. Menjelang akhir perjalanan menuju rumah ibu, Sang Cucu (Dede Rayan) menangis tiada henti. Ia sudah merasa penat di mobil. Ia memaksa ingin keluar dan tak mau melanjutkan perjalanan. Akhirnya kami putuskan untuk tahun ini mudik ke Garut tidak beserta Cucu, dan ibu, bapaknya. Kasihan anak usia dua/ tahun biasanya rewel dalam situasi lama di kendaraan.
Setelah nginap dan berlebaran, kami lanjutkan perjalanan menuju Garut. Semula Gardan, De Rayan dan istrinya sampai di Padalarang mereka akan naik grab, karena tidak tega De Rayan di perjalanan sudah ngamuk lagi, oleh karena itu kami balik lagi pulang ke rumah. Istirahat dahulu baru kemudian melanjutkan perjalanan menuju Garut selepas Salat Magrib.
Waktu tempuh perjalanan ke Garut kurang lebih enam jam. Pukul 00.15 kami sampai di rumah makan biasa tempat istirahat. Untuk sampai ke kampung kurang lebih satu jam lagi. Seperti biasa juga, kami istirahat dan tidur di dalam mobil. Baru bada Subuh nanti, perjalanan akan kami lanjutkan. (saya hentikan menulis cerita perjalanan mudik ini, untuk beristirahat).
Pukul 05.30 kami lanjutkan perjalanan. Melewati jalur jalan dengan turunan curam, suami Sang Sopir Pribadi sungguh lebih berhati-hati mengendarai mobil. Tepat pukul 06.30 kami sekeluarga sampai di kampung halaman. Sambutan hangat dari keponakan dan saudara memberi kekuatan dan keceriaan di sela kelelahan dari perjalanan.
Sudah menjadi tradisi dan lelucon mudik, bukan pulang kampung kalau tak jalan kaki. Seperti mudik saat ini, dari rumah keponakan menuju rumah kerabat yang lain, kami berjalan kaki lebih kurang satu jam perjalanan. Selain bertebaran, tidak lupa tradisi pula, yakni menuju pemakaman orang tua untuk berdoa.
Silaturahmi, dan berlebaran di kampung kental dengan tradisi makan bersama menyambut sanak saudara dari kota. Potong memotong ayam kampung juga ngabedahkeun lauk (mengambil ikan di kolam dengan cara mengeluarkan airnya terlebih dahulu) menjadi agenda tahunan saudara di kampung untuk lauk-pauk saat makan bersama.
Demikian pula tradisi berbagi dan saling mencicipi rezeki antarkeluarga mewarnai suasana perayaan Hari Kemenangan Idulfitri. Kami yang disebut datang dari kota membagi baju, sarung, kue, atau cuan. Saudara di kampung selain menyuguhi ayam kampung, dan ikan, juga membekali atau memberi oleh-oleh gula merah gula aren, ayam kampung, dan aneka cemilan keripik pisang, singkong, dsb. Karena banyak saudara, lebaran tahun ini lebih istimewa. Kami mendapat lima ekor ayam sekaligus. Karena tidak mungkin dipasak semua, maka yang dua ekor ditinggal di keponakan biar dipelihara olehnya.
Setelah menginap satu malam kami pun kembali pulang. Saling bermaafan dan bersikaturahmi menghapus segala kehilapan dan dosa pada sesama dan saudara. Membawa sejuta kenangan dan berharap bisa meniti asa di lebaran tahun depan bersama sanak saudara di kampung halaman.
Otw mudik, Garut 14 April 2024
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusBarakallah. anyak hal yang bisa dipetik hikmahnya. Sukses selalu, Bu Mimin.
BalasHapusAamin
HapusTrimakasih Pak!