KEKUATAN BUKU BAPAK



KEKUATAN BUKU BAPAK 

Oleh N. Mimin Rukmini

Baru saat ini ketika di rumah Mamah melihat suamiku meneteskan air mata. Sungguh kaget diriku. Tiga puluh tahun berumah tangga, belum pernah sekali pun melihatnya menangis. Ada apa gerangan? Tak tahan ah, melanjutkan ke tulisan kedua. Pengantar Pak Khoiri bagus lagi, " ungkapnya. Suami menutup buku yang ternyata buku "Yang Bapak Tanamkan". Buku Bapak yang memang masih tergeletak di atas meja sepertinya belum selesai dibaca Mamahku. Ada tanda penyekat terlihat jelas, bahwa buku sedang proses dibaca Mamah.

Dua minggu lalu setelah pulang lounching buku tersebut  dari Malang, sengaja buku kubawa ke Purwakarta. Buku kuserahkan pada Mamah. Mamah menerima bukuku seperti senang sekali. Sengaja cover buku itu sudah kuberitahukan lebih dulu sehingga saat buku diberikan Mamah langsung membaca buku dengan asyiknya. Artinya, kejadian serupa dengan nangisnya suami ini, pada dua minggu yang lalu juga dialami Mamah menangis karena buku, menangis sembari membaca buku. 

Mamah dan suami menangis tersentuh karena buku, aku pun tak bertahan, menangis pula menyertai menangis mereka. Nangisnya suami kuceritakan pada Mamah. Mamah hanya sedikit tersenyum mengatakan bahwa memang isi buku sangat menyentuh. Boleh jadi kata Mamah saat membaca buku, suami pun selain ingat pada Bapak, juga ingat akan orang tuanya yang telah tiada. Buku Bapak benar-benar bisa meluluhkan hati keluarga kami. Satu lagi, kekuatan pemberi pengantar dalam mengantarkan isi buku berpengaruh terhadap pembaca. Dalam hal ini, saya ucapkan terima kasih pada Pak Khoiri Fonder RVL yang memberi pengantar isi buku. 

Di sisi lain, saat Kakak, Maman dan Adik, Mumun  melihat jilid depan buku, mereka sementara ini belum berani membaca isi buku. Entahlah kapan mereka ingin dan berani  membaca buku Bapak. Kata Mamah, A Maman dan Mumun saat melihat cover depan buku  foto Mamah dan Bapak pun, mereka sudah kelihatan sedih. Ada pula yang menggelikan tentang isi buku itu. Minggu kemarin di kampung ada saudara Mamah yang hajatan. Kutidak mau ke undangan hajatan itu dan hanya mau nitip amplop undangan saja. Apa yang terjadi? Mamah mengemukakan salah satu isi tulisan pada buku Bapak yang menyuruh untuk selalu bersilaturahmi dengan keluarga. Akhirnya, kumalu sendiri dan mau pergi keundangan. Itulah kekuatan tulisan. 

Di sela berderainya air  mata saat membaca kembali tulisan, kuberpikir dan merasa bahwa menulis dan buku sungguh bermakna. Oleh karena itu, mengapa kita masih enggan untuk menulis? Saya selalu teringat Prof. Naim  kalau bukan kita anaknya siapa lagi yang mau menceritakan orang tua kita melalui tulisan. Karakter orang tua, nasihatnya, idenya, prinsipnya  dan lain-lain.. 

Sifat, watak, ide  prinsip orang tua kalau kita ceritakan dalam bentuk tulisan dipastikan buku atau tulisan akan abadi. Foto keluarga yang biasa disimpan atau nenempel di dinding lambat laun akan pudar, usang, dan hilang warnanya. Foto yang diabadikan beserta tulisan dalam buku selamanya akan abadi. Terlebih isi buku tentang apa  isi tulisan, selamanya akan mengalir dalam ilmu dan kebajikan. 

Tak terbantahkan pula ketika menyaksikan Ibu dan suami menangis karena isi buku tentang orang tua, dipastikan selama keluarga  nanti membaca buku itu, selama itu pula mengalir kebajikan orang tua, dan kita yang menulisnya. Betul kata pepatah atau banyak kalimat bijak tentang menulis. Menulis bisa menggerakkan. Menulis mempengaruhi seseorang. Menulis karya  yang mengabadi. 

Ketika membaca buku, dari tulisanlah seseorang berempati. Dari tulisanlah seseorang peduli lingkungan. Dari tulisanlah seseorang bisa berubah sikap. Naah, jika prinsip, nasihat, ide, orang tua kita tulis, selanjutnya dibaca anak cucu seperti apa yang terjadi sebelumnya ketika masih hidup, boleh jadi sikap keturunan keluarga setelahnya (sekarang)akan sesuai dengan sikap dan kepribadian keluarga sebelumnya. Tentunya apa yang kita tuliskan adalah hal positif yang bisa dijadikan teladan, yakni kepribadian orang tua yang belum terkontaminasi. Semoga!


Naskah 1, untuk Buku Bapak Kedua

Bandung Barat, 18 November 2024

Komentar

  1. Catatan menyentuh Bu. Orang tua kita adalah teladan. Kita anak-anaknya yang harus menulis karena orang tua kita bukan tokoh nasional. Selamat menulis. Semoga suatu saat berkesempatan juga membaca. Salam literasi.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pembelajaran dari Kedatangan Seekor Kucing Sakit

YANG BAPAK TANAMKAN