Makalah Literasi


MELAWAN  KELOMPOK DOMINAN BUDAYA NONMEMBACA
(Terinspirasi dari Ketika Singa Di Hutan Memangsa Keledai Yang Bergerombol)
mimin.abu@gmail.com

ABSTRAK

                Budaya membaca bukan merupakan faktor bawaan, melainkan faktor kebiasaan dalam hidup. Makalah ini bertujuan: satu, mendeskripsikan  tentang    kondisi saat ini dalam hubungannya dengan kegiatan membaca. Deskripsi budaya membaca tersebut, misalnya digambarkan pada saat naik kendaraan mobil atau kereta api, antrean pada loket-loket rumah sakit, dan budaya membaca di kantor-kantor departemen. Dua, memaknai dan menerapkan perilaku singa yang memiliki tiga kelebihan dalam berbuat (prilaku manusia dalam membaca) yaitu :satu, keinginan yang kuat untuk melahap ilmu pengetahuan dari apa yang dibaca; dua, memiliki usaha yang sungguh-sungguh menghindarkan kemalasan membaca; dan ketiga, memiliki keberanian untuk berbeda dengan yang lain. Tiga,  usaha-usaha pemerintah untuk meningkatkan minat baca masyarakat. Peningkatan minat baca masyarakat ditentukan oleh dua faktor. Pertama, faktor  sikap masyarakat terhadap bahan bacaan.  Jika  masyarakat memiliki sikap positif terhadap bahan bacaan, maka akan tumbuh minat bacanya. Kedua, faktor ketersediaan dan kemudahan akses bahan bacaan. Hasil deskripsi menunjukkan bahwa upaya meningkatkan minat baca masyarakat  merupakan  kegiatan yang tidak dapat ditunda-tunda lagi. Dapatkah kita mengembangkan budaya baca seperti halnya singa memangsa keledai? Semoga!







A.                     PENDAHULUAN
Budaya membaca dan menulis pada masyarakat Indonesia masih jauh dari apa yang diharapkan. Hal ini terbukti (salah satu) dari nilai prestasi pendidikan yang masih jauh tertinggal dibandingkan dengan negara tetangga Malaysia misalnya, yang kemerdekaan negaranya jauh lebih baru daripada kemerdekaan negara kita Republik Indonesia. Mengapa demikian? Salah satu sebabnya karena budaya literasi masyarakat kita masih rendah. Lebih lanjut penulis mengambil http Republika membuktikan bagaimana rendahnya minat baca masyarakat kita, sebagai berikut.
REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Perpustakaan Nasional menyatakan minat atau budaya membaca buku di kalangan masyarakat Indonesia, terutama di daerah terpencil atau desa-desa hingga saat ini masih rendah atau kurang menggembirakan.

"Belum menggembirakan ini salah satunya bukan karena tidak minat, melainkan ketersediaan buku yang bisa merangsang mereka untuk membaca juga kurang," kata Kepala Pusdiklat Perpustakaan Nasional (Perpusnas) Gardjito saat menjadi pembicara dalam talk show di festival budaya pustaka yang digelar di Kebun Bibit Bratang Surabaya, Sabtu.
Selain itu, lanjut dia, masyarakat Indonesia lebih kuat pada budaya lisan dari pada budaya membaca. "Apalagi saat ini ada budaya mendengar," katanya.

UNESCO pada 2012 mencatat indeks minat baca di Indonesia baru mencapai 0,001. Artinya dalam setiap 1.000 orang, hanya ada satu orang yang punya minat membaca. Sedangkan UNDP merilis angka melek huruf orang dewasa Indonesia hanya 65,5 persen, sementara Malaysia sudah mencapai 86,4 persen.

Menurut dia, harus ada upaya bersama yang harus dilakukan untuk meningkatkan minat baca, salah satunya harus dimunculkan dari lingkungan keluarga.

Untuk itu, lanjut dia, Perpustakaan Nasional meminta dukungan agar rancangan UU sistem perbukuan bisa segera disahkan agar keinginan untuk meningkatkan minat baca tercapai. "Kita juga sudah berupaya untuk memberikan bantuan perpustakaan di desa-desa dan mobil keliling. Maka kami minta semua ini didukung masyarakat," katanya.


Ia mencontohkan salah satu perpustakaan di Indonesia yang berhasil meningkatkan minat baca warganya adalah Surabaya. Bahkan Perpustakaan Surabaya telah meraih juara I tingkat Nasional untuk kategori perpus umum.

Sejak kecil kita terbiasa dengan budaya lisan dari orang tua. Orang tua kita selalu memberi kita dongeng sebelum tidur sampai kita tertidur pulas. Selesai tidur kita diajak bermain sambil disuapi makan. Ketika di SD kita jarang sekali diberi berbagai bentuk bacaan. Padahal masa di SD terutama kelas-kelas awal adalah masa senang melihat dan membaca buku-buku bergambar. Bahkan seingat penulis sendiri, di SD dulu tidak ada perpustakaan, padahal jantungnya sekolah adalah perpustakaan yang ada di sekolah itu. Demikian pula, ketika di SMP, kita jarang sekali datang ke perpustakaan. Seingat penulis juga, di SMP belum ada perpustakaan (ini ingatan penulis, maksudnya penulis tidak ingat ketika di SMP bergerombol dan membaca di perpustakaan). Lalu, pada saat SMA, (SPG PGRI) yang penulis alami, juga sama, jarang sekali membaca di perpustakaan karena memang perpustakaan tidak tersedia.
Hal-hal di atas, itu terjadi di sekolah-sekolah yang ada di daerah dan terjadi tahun delapan puluhan. Untuk sekolah-sekolah sekarang, tidak demikian. Saat ini di sekolah-sekolah apalagi unit gedung baru selalu satu paket antara perpustakaan dengan unit  gedung baru tersebut. Ironinya di sekolah tempat tugas penulis, sekolah SMP induk SMPN I Cililin Kabupaten Bandung Barat baru memiliki ruangan perpustakaan tahun 2013 kemarin, padahal sekolah ini sudah berdiri sejak berpuluh tahun yang lalu. Tapi tidak mengapa, justru ini sudah ada perbaikan dan perkembangan.

B.     KONDISI SAAT INI DALAM HUBUNGANNYA DENGAN KEGIATAN MEMBACA
Di tempat-tempat umum jarang sekali kita melihat masyarakat kita sedang membaca. Misalnya saat naik kendaraan umum (bus kota),  penumpang yang penuh sesak yang duduk dan yang berdiri, jarang sekali atau hanya satu atau dua orang yang sedang membaca, bahkan tidak ada yang membaca sama sekali. Di kereta api juga demikian, di kereta api yang sering penulis naiki jarang sekali orang yang membaca. Orang-orang yang naik kereta api ini lebih asyik membicarakan atau mengobrol soal kehidupan atau sesuatu yang mengasyikan, menyedihkan atau kenalan untuk memperpanjang tali silaturahim. Penulis iri dengan orang Barat yang saat itu naik dari Jogya menuju Surabaya,  dua orang laki-laki dan perempuan duduk di satu kursi yang sama, berdampingan dengan kursi yang penulis dan teman-teman Bandung duduki. Mereka (orang asing) terus-menerus membaca, penulis ingin sekali seperti mereka, tetapi penulis belum berani dan mau menjadi singa lapar yang memangsa keledai yang ada digerombolannya.
Di tempat-tempat antrean atau loket kesehatan, misalnya rumah sakit biasanya orang-orang duduk menunggu antrian masuk giliran diperiksa dokter. Di sini juga jarang terlihat orang-orang yang sedang baca, paling ada satu atau dua orang yang sedang membaca. Kebanyakan mereka mengobrol dengan masalah hidupnya masing-masing, masalah penyakit yang dialami, masalah pengobatan yang tidak ada sembuhnya, masalah pengobatan alternative, atau masalah kehidupan lainnya. Pendek kata mereka lebih asyik mengobrol atau berbicara lisan daripada menyimak isi bacaan.
Di lembaga-lembaga formal, misalnya di sekolah saat jam-jam istirahat guru dan siswa jarang sekali terlihat membaca. Kebanyakan siswa bercanda dan ngobrol tentang kehidupan mereka. Di kelas-kelas mereka tidak tersedia pojok baca. Walaupun ada pojok baca tidak berlangsung lama, entah ke mana, karena tidak didukung oleh petugas perpustakaan atau guru yang lain dan karena keterbatasan buku. Di perpustakaan yang ruangannya terbatas memang penuh dengan para siswa yang membaca, tetapi dari jumlah  siswa  secara keseluruhan yang suka baca di perpustakaan belum mencapai 30% (perkiraan) gemar membaca dan meminjam buku dari dan di perpustakaan. Di ruang guru juga demikian, guru-guru sepertinya pada saat jam istirahat adalah saat laporan apa yang terjadi di dalam kelas, membicarakan masalah keluarga secara pribadi, membicarakan anak-anak bermasalah, atau saat pertemuan setelah beberapa waktu tidak bertemu dengan rekan-rekan sesama guru. Ini sesuatu yang menggelikan dan menjadi kebiasaan sehari-hari kita. Di ruang guru banyak tersedia buku, tapi buku paket untuk siswa. Tidak tersedia koran atau surat kabar harian atau majalah, walaupun ada satu koran, entah ada di meja mana karena giliran baca.
Di kantor-kantor departemen, pada saat lowong dari melayani masyarakat atau lowong dari pekerjaan, para karyawan sibuk dengan urusan ngobrol dan laporan-laporan yang tidak karuan. Di sini tidak tersedia majalah ataupun koran. Walaupun ada satu koran, sudah layu karena diseret dari satu meja ke meja yang lain.

C.     MAKNA SINGA LAPAR MEMANGSA KELEDAI YANG TERPISAH DARI GEROMBOLAN KELEDAI YANG LAIN
Singa lapar kalau mau memangsa keledai, selalu mengincar keledai yang terpisah dari kelompok keledai yang lain. Ini menandakan bahwa singa memiliki insting untuk mencapai keberhasilan tangkapannya. Dengan strategi incaran yang jitu biasanya keledai itu didapatkannya. Mengapa demikian? Pertama, karena kuatnya keinginan singa untuk makan dan memangsa keledai. Ini berarti kuatnya motivasi singa. Kedua, adanya strategi insting yang jitu. Singa memiliki taktik usaha yang dapat ia andalkan. Ketiga, singa memiliki keberanian untuk bertindak, tidak merasa ragu, tekad bulat untuk memangsa keledai sampai berhasil.
Dari hal-hal di atas dapatkah kita memiliki usaha seperti singa? Di tengah-tengah masyarakat yang lebih banyak yang tidak membacanya dibanding yang membaca bahkan di antara seribu orang hanya satu orang yang membaca, dapatkah kita mengubah pola laku kita untuk membaca. Hal itu tinggal memaknai dan menerapkan perilaku singa yang memiliki tiga kelebihan dalam berbuat yaitu :satu, keinginan yang kuat untuk melahap ilmu pengetahuan dari apa yang dibaca; dua, memiliki usaha yang sungguh-sungguh menghindarkan kemalasan membaca; dan ketiga, memiliki keberanian untuk berbeda dengan yang lain. Orang yang inovatif adalah orang yang berani berbeda dari orang kebanyakan.


D.    USAHA-USAHA PEMERINTAH UNTUK MENINGKATKAN MINAT BACA MASYARAKAT
Minat baca adalah kecenderungan hati yang tinggi untuk membaca. Minat baca yang tinggi dengan didukung sarana dan prasarana yang baik dari pemerintah akan meningkatkan minat baca yang tinggi dan akan menjadi kebiasaan atau menjadi budaya baca dalam masyarakat. Dengan demikian membaca bukan merupakan bawaan, tetapi hasil pemupukan kebiasaan dalam hidup. Artinya, membaca perlu pembiasaan yang terus-menerus, ditanamkan sejak kecil dan dilaksanakan sampai ajal menjelang.
Meningkatkan minat baca masyarakat merupakan upaya pemerintah yang dilakukan terus-menerus, berkesinambungan, dan meliputi seluruh pelosok wilayah negeri ini, agar masyarakat tertarik pada bacaan dan secara tidak langsung meningkatkat pengetahuan masyarakat untuk berbagai aspek ilmu pengetahuan.
Peningkatan minat baca masyarakat ditentukan oleh dua faktor. Pertama, faktor  sikap masyarakat terhadap bahan bacaan.  Jika  masyarakat memiliki sikap positif terhadap bahan bacaan, maka akan tumbuh minat bacanya. Kedua, faktor ketersediaan dan kemudahan akses bahan bacaan.
Untuk faktor mempermudah ketersediaan dan akses bahan bacaan, pemerintah melakukan usaha mendirikan taman bacaan masyarakat di tingkat kecamatan dan perpustakaan desa. Demikian pula kegiatan mobil perpustkaan keliling merupakan salah satu wujud usaha pemerintah dalam usaha meningkatkan akses bahan bacaan dengan tujuan meningkatkan minat baca masyarakat.
Upaya utama secara khusus yang perlu kita lakukan dan kita tanamkan adalah upaya-upaya guru dalam meningkatkan minat baca pada peserta didik atau siswa. Upaya itu diantaranya memperbanyak koleksi buku perpustakaan, menyediakan pojok baca di setiap sudut sekolah, minimal pojok baca dalam kelas. Jadikan lingkungan sekolah menjadi tempat yang nyaman untuk membaca.
Upaya meningkatkan minat dan budaya baca secara langsung akan berpengaruh pada meningkatnya  minat dan budaya menulis, pada masyarakat umum, khususnya parasiswa atau para pelajar dan mahasiswa.
Siswa adalah generasi penerus bangsa yang akan hidup di masyarakat. Dengan terus-menerus berupaya menjadikan  kebiasaan membaca menjadi budaya baca para siswa, di masyarakat nanti diharapkan siswa akan menjadi masyarakat baca dengan budaya baca yang tinggi. Semoga!

Ke Surabaya memakai gelang
Memakai kalung ke Kediri
Karena minat membaca yang kurang
Inilah kemampuan menulis diri sendiri

Memakai gelang berbinar-binar
Memakai kalung malah terjepit
Maksud hati ikut seminar
Tulisan kacau tanpa diedit

E.     SIMPULAN
1.      Minat baca masyarakat Indonesia memprihatikan sehingga meningkatkan minat baca masyarakat merupakan upaya kita (guru) dan pemerintah yang tidak dapat ditunda-tunda lagi.
2.      Sarana dan prasarana atau bahan bacaan akan menjadi pengukur meningkat tidaknya minat baca masyarakat, sehingga memperluas akses bahan bacaan merupakan upaya utama yang harus dilakukan, baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.
3.      Selain upaya-upaya meningkatkan minat baca di masyarakat, kota dan daerah, yang lebih utama meningkatkan minat baca di sekolah sehingga diharapkan apabila di sekolah para pelajar sudah menjadi masyarakat baca dengan budaya baca tinggi, di masyarakat nanti akan menjadi masyarakat dengan budaya baca yang tinggi.
4.      Budaya baca yang tinggi berpengaruh pada budaya menulis yang tinggi pula.



DAFTAR PUSTAKA

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

YANG BAPAK TANAMKAN

KOORDINASI MEMBANGUN SINERGITAS YANG TUNTAS