BAPAK DAN BAJU HITAM

 


Sengaja tulisan ini saya beri judul "Bapak dan Baju Hitam". Saya gambarkan kembali sosok Bapak ketika  masih ada. Di mana pun dan kapan pun Bapak selalu saja mengenakan baju hitam. Apapun acaranya, santai, resmi, atau acara keluarga misalnya. Bapak, pasti memakai baju hitam. 


Bapak dan baju hitam jika diterapkan dalam peribahasa adalah  ibarat api dan asap.  Di situ ada asap, pasti di situ ada api. Naah, itulah Bapak! Mencari Bapak? Carilah yang memakai baju hitam. Yang berbaju hitam, dipastikan itu Bapak. Ups! Ya, dilihat dulu. 


Suatu waktu, dalam acara mau wisuda cucu Bapak, Adik saya sedikit mengomel pada Bapak. "Pak, coba sekali ini saja, Bapak tidak memakai baju hitam! Kan saya sudah membelikan baju buat Bapak," pinta Adik pada Bapak. 

Bapak hanya menjawab, "Ini juga baju hitam bagus! Mahal!"

Adik saya hanya mengusap dada. Tak bisa memaksa kemauan orang tua. 


Di waktu lain saya pun pernah bertanya kepada Bapak bahwa Bapak mengapa selalu nemakai baju warna hitam. Dengan berseloroh Bapak berkata, "Bapak sudah pernah jadi Gatot Gaca. Naah, sekarang Bapak mau menjadi Cepot lagi".

Saya bingung dengan jawaban Bapak, tetapi lambat laun jadi paham juga. Dengan memahamkan diri sendiri, artinya mungkin saat ini setelah mengenakan baju hitam terus Bapak tidak mau menyombongkan diri. Bergaul dengan semua kalangan, dengan petani atau apapun itu. 


Bapak, dulu adalah orang pertama di desa saya itu yang memiliki motor gede (moge),  yakni motor norton. Saya juga lupa-lupa ingat bentuk motor tersebut. Yang jelas, saya naik itu masih di depan di tempat tangki minyak bensinnya. Terbuat dari besi, warnanya putih dan mengkilap. Ada yang pernekelnya pula. Sepertinya motor itu berat banget. 


Selain motor norton Bapak pun sebelumnya memiliki mobil Oplet. Seperti pada film "Si Doel Anak Sekolahan". Setelah sepeda motor norton itu dijual, Bapak pun punya motor BMW. Mamah mengatakan bahwa membeli motor norton tersebut, dengan menjual perhiasan emas Mamah sebanyak seratus gram. Yang artinya, harga motor itu mahal sekali untuk ukuran orang kampung, anak petani dari desa. 


Selanjutnya, Bapak pernah pula membangun rumah yang agak mentereng (keren) untuk ukuran orang desa. Bapak katakan bahwa Bapak bahagia telah memiliki rumah, mobil, maupun sepeda motor yang masih langka saat itu. Bapak hanya seorang Guru dan terakhir Kepala SD. Dengan menabung dari gajih yang Bapak terima dan bertani dari harta peninggalan orang tua Bapak belikan harta kekayaan  di atas. 


Lain dulu saat anak-anak Bapak masih kecil, lain pula sekarang setelah anak-anak memasuki masa kuliah. Cerita mobil oplet, norton atau BMW sudah berlalu. Bahkan satu waktu kala saya masih SPG kelas 2 (sekolah setingkat SMA) motor Asrea Bapak disita rentenir. Karena repot biaya kuliah Kakak, Bapak sampai  berani meminjam uang rentenir. Atau entahlah, karena saat itu, Mamah pun membuka warung kelontongan  di rumah. 


Menginjak saya kuliah keadaan ekonomi keluarga semakin terpuruk. Betapa tidak begitu, saya yang oleh orang tua diharapkan bisa masuk PTN (IKIP Bandung) saat itu, malah tidak lulus. Akhirnya, saya pun ikuti jejak kuliah Kakak di UNINUS. Bisa dikatakan bahwa biaya kuliah di PT swasta saat itu (tahun 1988) termasuk mahal. Berbeda dengan kuliah di PTN. 


Semakin besar anak-anak Bapak, semakin menanjak pula yang perlu dibiayai. Namun, saya acungi jempol tekad Bapak saat itu.  Bapak menginginkan ketiga anaknya, Maman, Mimin, dan Mumun menjadi sarjana. Bagaimana pun risikonya.


Dalam tulisan lain saya pun memaparkan bagaimana sulitnya ekonomi Bapak ketika ketiga anaknya, Maman, Mimin, dan Mumun  kuliah dalam waktu bersamaan. Maman dan Mimin kuliah tingkat akhir  Mumun masuk pula di UNINUS tingkat satu (tahun 1991). Maman dan Mimin selesai kuliah S1 tahun 1992.


Mengapa saya paparkan keadaan ini ketika Bapak sudah meninggal. Saya baru menyadari bahwa mengapa Bapak memakai baju hitam terus dengan alasan Bapak ingin menjadi cepot kembali setelah merasakan jadi Gatot Gaca. Begini, Gatot Gaca seolah-olah karakter orang yang dikenal dan  terpandang. Bapak dulunya, wallohu alam, mungkin merasakan itu seperti Gatot Gaca. Merasa jadi orang terpandang di desa. 


Bagaimana dengan setelah Anak-anak, Maman, Mimin, Mumun dewasa dan berumah tangga, Bapak intinya setelah pensiun 2006 lalu selalu mengenakan baju hitam. Bapak merasa sudah mencapai apa yang sudah dicita-citakannya. Bapak tidak ingin dikenal, tetapi ingin dalam kesederhanaan. Bapak merasa dengan baju hitam tidak akan kelihatan gonta-ganti bajunya atau mahal harganya. Bapak ingin kembali menyatu dengan masyarakat biasa. Sebagaimana peran Cepot yang apa adanya hidup dalam kesederhanaan. Wallohualam

Komentar

  1. Masya Allah... bapak.

    btw, saya juga suka baju hitam. Kalau perempuan tampak elegan pake hitam.

    Salam bu Mimin

    BalasHapus
  2. Keren. Bapak mengajarkan kesederhanaan

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

YANG BAPAK TANAMKAN

KOORDINASI MEMBANGUN SINERGITAS YANG TUNTAS