Antara Peluang dan Kasih Sayang


 Antara Peluang dan Kasih Sayang

Oleh N. Mimin Rukmini

Sejak tadi malam hingga kembali malam ini di perjalanan, kembali pulang dari menengok Mamah betul- betul menguras tenaga. Namun, minimal ada rasa dada hampa terisi sudah. Minimal rasa hampa dan kasih sayang pada Mamah berbayar kontan pada rasa lelah ini. Ingin kulukiskan betapa bahagianya Mamah dan kami, aku dan suami ketika ngumpul bareng di rumah Mamah. 


Pukul 3 dini hari pagi ini  aku dan suami baru sampai di rumah Mamah. Sejak di rest area baru terbangun 01.30, aku sudah bingung karena boleh jadi mamah selalu menunggu sejak magrib dan tidak bisa tidur.Bersyukur anggapan itu tidak benar adanya. Mamah ketika kudatang, bangun dari tidur pulasnya dan hanya bicara "Kasihan, mungkin Abu kecapean". Setelah kujelaskan mengapa sampai tidur dulu di  tempat istirahat.  Aku dan suami tak banyak cerita dulu setelah salaman menjelaskan alasan tadi, langsung tidur pula. 


Pagi-pagi sekali mamah sudah menyiapkan sarapan. Mamah sudah maklum bahwa anak dan menantunya pasti sarapan lebih pagi karena ingin minum kopi. Di sela sarapan itulah masa bercengkrama yang dipastikan paling ditunggu mamah. Satu atau dua kali dalam sebulan aku dan suami nengok mamah yang sendirian di rumah ini. 


Dalam obrolan dengan mamah biasanya saling mengabarkan apa yang terjadi dengan kesibukan pekerjaan, kelucuan sang cucu, atau kuliah Si Bungsu Fahmi. Sebaliknya mamah mengabarkan bagaimana  Maman, Mumun Kakak dan adikku menemui Mamah, bertanam padi oleh orang lain, hasil kebun pisang, kontrakan, dan sebagainya. Hingga kami larut dalam canda dan tawa apalagi kalau A Maman atau Bi Mumun kebetulan kompak datang bareng ke rumah Mamah. Misalnya saja mereka membawa makanan untuk makan bersama. Jika sudah demikian betapa terlihat bahagianya Mamah, hingga aku dan suami serta anak, cucu  kembali ke Bandung. 


Seperti Hari Idul Adha ini pun setelah menginap semalam aku, dan suami membakar sate. Ada rasa bangga  dan bahagia masih bisa menemani Mamah. Mamah di usia 76 tahun boleh dikatakan  masih sehat. Ikut menyiapkan makanan yang kami inginkan. Senda gurau walau dengan orang tua tetap hangat. Mamah termasuk orang periang. Mungkin aku  yang paling hobi merundung Mamah kecil-kecilan. Ups! Maksudnya mencandai hanya sekadar menghiburnya. 

Ketika Alloh memberi peluang bisa bercanda tawa dengan Mamah, aku, suami, dan keluarga besar bapak terus menghibur Mamah sebisa mungkin. 


Terbayang ketika Bapak masih ada, selalu saja dari kebun membawa pisang. Biasanya setelah istirahat beberapa menit Bapak cepat menghampiri bakar sate kesukaannya. Sekarang Bapak hanya tinggal kenangan. 


Tatkala sate daging kurban ini matang, dan kami siap menyantap makanan yang sudah tersaji, tak lupa mengirim doa buat Bapak. Doa bersama sebelum makan adalah tradisi yang sudah mendarah daging di masyarakat. Bukan hanya itu, doa makan melebar ke doa mendoakan orang tua yang telah meninggal. 


Kebersamaan dengan orang tua, suami, anak,  keluarga besar,  adik, dan kakak walau hanya sesaat dipastikan menumbuhkan dan menguatkan kasih sayang di antara orang tua, dan anggota keluarga. Bukan hanya kasih sayang, penumbuhan karakter lain seperti disiplin, tanggung jawab, yang intinya memuliakan orang tua pastilah terbentuk. Aamiin


Bandung Barat, Idul Adha 15 Mei 2024

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

YANG BAPAK TANAMKAN

KOORDINASI MEMBANGUN SINERGITAS YANG TUNTAS