HANYA KARENA IBU DAN KAKAK
HANYA KARENA IBU DAN KAKAK
Hari ini 23 September 2025, baru kembali saya bersepeda motor sendiri ke Purwakarta, kampung halaman. Memang sudah dalam bayangan saya, jika ada waktu satu atau dua hari dan saya betul-betul sedang dalam keadaan sehat, saya akan pulang naik sepeda motor. Ya, pulang kampung di hari libur, Sabtu atau minggu dengan bermobil biaya perjalanan tak kurang dari tiga ratus ribu. Sedangkan jika naik motor biaya yang dikeluarkan tidak lebih dari lima puluh ribu. Perbandingan biaya perjalanan yang mesti banyak dipertimbangkan.
Perjalanan naik mobil dengan suami dan anak walau biaya lebih besar, risiko tantangan keselamatan perjalanan lebih ringan dibanding bersepeda motor. Apalagi saya yang notabene masih belajar mengendarai sepeda motor sendiri. Usia lima puluh tiga tahun baru belajar mengendarai sepeda motor, bukan usia yang dikatakan masih layak belajar, sebaliknya merupakan usia yang boleh dikatakan saatnya beristirahat dan cukup sekadar dibonceng.
Kembali pada risiko tantangan naik sepeda motor. Betapa mirisnya saya, ketika di depan melihat antrean kendaraan besar yang harus saya salip dan saya lewati. Menstater motor di antara 40 -50 boleh dikatakan cepat, tetapi jika ingin menyalip berarti saya harus fokus dan lebih di antara jarak stater tersebut. Jalan raya Cikampek - padalarang memang untuk sepeda motor agak leluasa untuk nyalip karena badan jalan lebar, walau jalan berkelok atau kadang bergelombang. Tetapi ya, begitu kendaraan yang lewat selain minibus, banyak kendaraan besar, truk gandengan, dan sejenisnya.
Perbandingan biaya, dan tantangan perjalanan tidak semata-mata menjadi halangan belaka. Jauh lebih daripada itu ada kekuatan dalam diri yang membuat saya semangat. Kekuatan satu, yakni saya terlalu sayang pada Ibu yang tinggal sendirian di rumah. Dua, karena istri Kakak sedang sakit. Dalam keadaan sakit tak ada lebih bahagia hanya ketika ditengok adik, kakak, atau saudara.
Kekuatan ingin bertemu dan menengok ibu saat ini menjadi dasar apapun risiko di perjalanan itu. Wajah ibu yang selalu terbayang dan teguhnya zikir saat tangan memegang kendali sepeda motor menjadi lembar kisah perjalanan seru. Kata *"Hati-hati di jalan!* baik dari suami maupun, Ibu, dan Saudara lain tetap jadi pijakan. Tidak lupa, kurang lebih setengah perjalanan saya harus intirahat, singgah di warung sambil minum atau makan sejenak. Yang pada akhirnya setelah tiga jam perjalanan sampai pula di kampung halaman.
Ibu yang selalu menunggu kedatangan, menyambut dengan wajah penuh bahagia. Pukul 12.30 seiring panas mentari wajah Ibu pun berseri saat tiba di rumah. Walau kami hanya berdua suasana rumah mendadak seolah ramai penuh warna gempita.
Setelah istirahat dan tidur lelap sebentar, lalu saya dan ibu ke rumah kakak yang istrinya sedang sakit. Di rumah kakak pun kami bercengkrama bahagia, istri kakak sakitnya sudah membaik, sudah jauh lebih sehat dibanding waktu sebelumnya ketika saya dan suami menengok beliau. Makan bersama di rumah kakak menjadi menu silaturahmi yang sungguh berarti.
Menjelang isya saya dan ibu pulang dari rumah Kakak. Ibu naik motor dengan Kakak. Saya ngak berani membonceng Ibu di malam hari. Sampai di rumah Saya dan Ibu selalu saja ngobrol apa-apa yang Ibu alami selama ini. Hingga akhirnya kami tertidur lelap.
Pagi hari Rabu, 24 September pukul tujuh saya bersiap untuk kembali ke Bandung. Kadarulloh hari itu ada pembinaan dari Pak Kadis dan MKKS. Saya pamit pulang, kucium tangan Ibu sepenuh hati dan berdoa semoga Ibu selalu ada dalam Lindungan-Nya. Demikian pula dengan Saya moga selamat sampai tujuan.
Bandung Barat, 27 September 2025
Komentar
Posting Komentar