PUASA DAN TRADISI SESAJEN

 PUASA DAN TRADISI SESAJEN


Sepulang taraweh tak terasa air mata menetes deras. Bayangan dan  sosok dari seorang Bapak yang kini menghuni alam kubur, kembali melukis pikiran dan kenangan yang telah berlalu, yakni  menginjak tahun kedua di bulan puasa ini. Pandangan hidup dan harapan Bapak saat Bapak masih ada menyeruak lagi bersamaan dengan derasnya air mata yang tanpa diundang. 


Beberapa waktu lalu saya melihat video di tiktok ada salah seorang ustad yang mengemukakan bagaimana seorang yang ada dalam kubur rindu  akan bulan puasa. Rindu akan bulan penuh rahmat dan ampunan. Sedang mereka yang di alam kubur sudah tak lagi mengalami bulan serupa seperti kita yang masih menggenggam asa dunia. 


Dalam tangis itu, kembali saya mengingat Bapak ketika masih ada. Bagaimana saat bulan puasa sebelum dan sesudah beralih dari tradisi kearifan lokal. Masih ingat waktu saya masih kecil di hari puasa terakhir suka berbuka sebelum magrib. Bukan saya saja yang saat itu  masih kecil, Kakak, Bapak, Ibu pun, lupa-lupa ingat suka berbuka. Hanya terus terang, salahnya saya tidak pernah menanyakan mengapa di hari terakhir puasa tidak sampai waktu Magrib. 


Pada hari terakhir  puasa  biasanya kami sibuk. Bapak mencari alat atau media untuk sesajen di sumur atau jamban, dan Pabeasan. Ibu pun sama memasak di dapur dan menyiapkan bahan-bahan sesajen. Termasuk membuat ketupat dengan sayur kari ayam kampung yang nikmat.


Selain itu, Ibu pun menyiapkan bubur putih, bubur merah, biji kemangi, dan juga batang tebu. Biji kemangi diberi air. Batang tebu dikupas dipotong-potong kecil berbentuk dadu lalu diseduh dengan air gula merah. Ibu menyiapkan juga minuman kopi pahit dan manis, rebus telur ayam kampung, dan bakakak ayam (ayam panggang). Bahan-bahan itu masing-masing disimpan pada gelas atau mangkuk kecil, kecuali sayuran, lauk-pauk, bakakak, dan telur rebus. 


Selanjutnya jika siap saji, disimpan pada baki. Baki dan makanan tersebut dua stel. Satu untuk sesajen di sumur sedang yang  satu lagi untuk sesajen di pabeasan  (tempat beras yang disimpan dalam gentong   yang berada di area tertentu seperti bentuk kamar). Tidak lupa disediakan pula kelapa muda, dan kemenyan yang dibakar dan diberi jampi-jampi oleh Bapak pada saat menyajikan nanti. 

Untuk sesajen di pabeasan ditambah dengan telur rebus dan bajakak ayam. Yang untuk sesajen di sumur hanya ditambah telur rebus. Semua sesajen disajikan menjelang Magrib. 


Sebelumnya, di hari-hari terakhir bulan puasa keluarga, kerabat, atau tetangga sibuk pula berbagi rantang. Rantang yang berisi masakan daging. Daging ayam, sapi, atau Ikan basah, dan sayur. Sayurnya berupa sayur kentang, mie, atau bihun, sayur cabai, serta nasi. Naah, nanti dari keranat, atau tetangga berbagi juga ranrang berisi lauk dan sayur yang sejenis. Tak jarang sayur dari tetangga sebelah kanan diberikan pada tetangga sebelah kiri. Entahlah, seolah-olah tukar makanan.


Setelah saya dewasa lambat laun, atau sedikit demi sedikit Bapak meninggalkan tradisi sesajen tersebut. Semula dengan pelan dan pasti sesajen yang di sumur ditinggal. Di bulan puasa berikutnya sesajen di Pabeasan juga ditinggalkan. Apalagi saat Bapak dan Ibu pulang munggah haji bentuk acara sesajen apapun sudah Bapak tinggalkan. Termasuk misalnya tradisi mitembeyan (sesajen saat mau memanen padi) lama sudah ditinggalkan. 


Bapak mulanya tidak termasuk orang yang taat beribadah. Mohon maaf! Bapak suka berbicara sambil berkelakar, "Bapak akan salat jika benar-benar mengaplikasikan salat itu dalam kehidupan sehari-hari untuk berbuat baik", bantahnya. Saya pun menentangnya dan mengingatkan bahwa sebagai manusia walaupun salat boleh jadi berbuat tidak baik dan itu manusiawi. Manusia tempat salah dan hilap, tetapi dengan mendirikan salat dipastikan tetap ada dalam koridor hidup yang benar. 


Setelah ibada haji, saya bersyukur. Orang tua betul-betul menjadi teladan dalam menjalankan ibadah salat. Bapak selalu salat berjamaah di mesjid, demikian pun ajaran Islam lainnya, Bapak taat beribadah.  InsyaAllah Bapak adalah orang tua menjadi teladan kami. Tradisi sesajen yang jelas-jelas bukan ajaran Islam, sungguh-sungguh sudah Bapak tinggalkan sampai akhir hayatnya. 


Purwakarta, 24 Januari 2024

Komentar

  1. Alhamdulillah...perjalanan spiritual yg indah...Mugi husnul khatimah...
    Dan berbahagia di sisi-Nya...
    Alfatehah...

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

YANG BAPAK TANAMKAN

KOORDINASI MEMBANGUN SINERGITAS YANG TUNTAS