BIJAK MENGELOLA HARTA PENINGGALAN ORANG TUA

 Beberapa tahun lalu, ada film yang berjudul "Tukang Bubur Naik Haji', yakni tukang bubur yang bisa naik haji hasil menabung dari penjualan bubur. Kita juga sering mendengar orang- orang naik haji dengan cara menabung uang receh dari bekerja sekadar tukang beca, misalnya atau tukang nasi uduk dan sebagainya. Subhanallah! Luar biasa, bukan? 


Sementara, ada berita pula di tempat perdesaan yang memasuki transisi wilayah perkotaan, banyak masyarakat yang tidak menduga tanah mereka baik tanah warisan maupun guna kaya terkena gusuran atau proyek pemerintah lalu dijadikan ongkos naik haji. Secara otomatis masyarakat yang terkena gusuran demikian mengalami pergeseran kekayaan dan gaya hidup. 


Boleh jadi mereka yang terkena gusuran berasal dari masyarakat  yang semula orang  biasa menjadi orang kaya banyak uang karena gusuran. Atau orang yang asalnya juga kaya atau karena orang tua mereka banyak tanah warisannya  sehingga ketika mendapatkan hasil penjualan tanah, harta mereka semakin berlimpah. 


Untuk masyarakat yang semula masyarakat dengan kehidupan sederhana atau biasa sekarang menjadi  kaya dengan uang yang berlimpah boleh jadi, mohon maaf! Kehidupannya  menjadi kurang kendali. Bisa saja uang langsung digunakan membuat rumah, kontrakan, membeli kendaraan, atau misal naik haji atau umroh sehingga dalam waktu singkat harta yang didapat tak lama melekat. Artinya mereka kembali pada kehidupan semula. Atau boleh jadi orang yang semula sebut saja berkecukupan karena banyak hasil penjualan harta  warisan akhirnya menjadi serba kekurangan karena tidak memanfaatkan hasil penjualan harta warisan dengan bijaksana. 


Sebaliknya, ada pula orang yang setelah menjual tanah atau harta warisan karena gusuran dibelikan kembali tanah dengan ukuran yang sama misalnya, walau di tempat yang jauh dengan harga lebih murah. Sisa uang masih ada, bisa saja  dapat digunakan untuk biaya ongkos naik haji seperti  yang sudah saya paparkan sebelumnya. Mungkin ini menurut hemat saya yang dianggap orang yang lebih bijak  mengelola harta warisan. 


Hampir menjadi tradisi, menjual tanah dan hasil penjualan tanah dibelikan kendaraan lambat laun harta dan kekayaan itu akan habis terkuras. Apalagi jika mereka tidak memiliki pekerjaan tetap. Mereka menikmati kehidupan harta berlimpah sungguh sangat sebentar saja. 


Masih mending kalau sebagian  uang atau harta peninggalan itu digunakan untuk naik haji. Jangka waktu daftar tunggu naik haji prosesnya lama, sehingga masyarakat demikian masih bisa berusaha sambil menunggu proses berhaji tersebut. Sebaliknya, uang yang tidak seberapa banyak selanjutnya digunakan untuk berumroh, naah, ini mungkin pengelolaan uang peninggalan atau warisan yang tidak bijak. Harta waris yang sejatinya diwariskan kembali hilang sesaat hanya dipakai untuk ibadah pribadi. 


Ketika Bapak masih ada, kami sering membincangkan penomena masyarakat seperti tersebut di atas. Bapak juga selalu mengemukakan bahwa jika nanti lahan atau tanah  terjual sisihkanlah untuk membelikan tanah itu  kembali. Minimal luasnya sama dengan yang terjual. Setelah tanah itu tergantikan, baru kemudian sisa penjualan itu digunakan untuk kebutuhan lain, baik untuk naik haji, berumroh,  membeli kendaraan, maupun membuat rumah kontrakan dan sebagainya. 


Menurut hemat saya, pemikiran Bapak amat tepat. Tanah hasil waris dari orang tua, sejatinya ya , diwariskan kembali kepada anak cucu. Itu artinya, ibadah berumroh penting, ibadah haji juga penting, namun melestarikan harta warisan itu lebih utama. Keputusan tersebut adalah tindakan yang tepat. Melestarikan peninggalan orang tua untuk sampai kepada anak cucu bisa dilakukan, sebaliknya ibadah pribadi juga dapat dilaksanakan. Bijak mengelola harta warisan, adalah untuk anak cucu, juga untuk mengelola kehidupan sekarang dan masa depan. Bisa! 


Bandung Barat, 13 Oktober 2023

Artikel ke-4 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

YANG BAPAK TANAMKAN

KOORDINASI MEMBANGUN SINERGITAS YANG TUNTAS