TRADISI TUJUH HARI

  



Tujuh hari meninggal Mbah, tradisi di kampung menyelenggarakan doa yang disebut "Sidekah". Sidekah artinya berdoa bersama sanak saudara  atau tetangga yang dipimpin oleh Pa Amil. Pa Amil merupakan orang yang dituakan sejak menyediakan kain kafan, memandikan jika yang neninggal dunia laki-laki, memimpin salat jenazah, menguburkan, sampai memimpin tahlilan sebelum acara tujua hari meninggal. 

Acara tujuh hari meninggal dunia, hampir sama dengan acara hajatan (resepsi pernikahan atau sunatan). Keluarga yang meninggal dunia menerima beras dalam baskom yang pake tumpang seperti mau undangan  pernikahan. Tumpang adalah tambahan beras berupa mie instan, opak, dodol, ranginang, kue, dan sebagainya. Kalau yang mengirim beras itu keluarga dekat apa yang ada dalam baskom bisa mencapai harga 250 ribuan. Beras minimal 3 kg sampai 10 liter/8kg ditambah dengan tumpang tadi. 


Yang punya rumah atau keluarga yang meninggal untuk mengganti beras dan tumpang tadi otomatis harus menyiapkan makanan. Baik atahan, kue (wajik, dodol, tape, dan sebagainya) atau cangkedong. Atahan adalah mentahan makanan berupa minyak goreng, beras, minuman kemasan, kue kering, dan sebagainya. Sedangkan cangkedong adalah makanan berupa sayur, tumis, lauk pauk, dan nasi yang dibungkus. 


Persiapan makanan dan minuman untuk hari ha tujuh hari dilakukan kurang lebih tiga hari sebelum pelaksanaan. Sanak saudara dan tetangga datang membantu untuk membuat dodol, tape, wajik, sejak pagi hari. Saya perhatikan mereka datang sejak pukul setengah enam. Betul-betul waktu pantastis bagi seorang pekerja. Pekerja iklas yang tidak ada lembaga dan sumber tertulisnya. 


Dodol yang dibuat untuk hajat tujuh hari meninggal sangat beragam. Ada yang hanya satu gerengseng (ketel besar), ada pula yang lebih. Untuk resepsi pernikahan, misalnya membuat dodol itu sampai delapan gerengseng. Naah, untuk tujuh hari Mbah, kami hanya membuat dodol tiga gerengseng. Wajik satu ketel, tape hanya empat kg ketan. Lama membuat dodol kurang lebih empat sampai lima jam. 


Saat pelaksanaan tujuh hari, makanan untuk parasman pun disediakan. Mbah membeli ayam sampai sepuluh kg, disamping daging sapi. Belum sayur lodeh, kentang, ataupun ikan asin. 

Para tetangga, sanak, dan saudara sudah datang sejak sore hari memburu tidur sambil membungkus kue dan atahan untuk mengganti beras dan tumpang. Untuk atahan bahkan dibungkus sejak setelah membuat dodol atau wajik, dan sebagainya. Atahan yang dibagikan untuk tujuh hari Mbah ini, membuat 900 bungkus, itu pun saat pelaksanaan tidak mencukupi dan membuat lagi seadanya berupa beras satu liter, mie instan, dan minyak goreng, 


Atahan ini selain untuk pengganti beras dan tumpang, juga menyediakan untuk yang tahlil terakhir di malam hari. Bukan hanya atahan yang disediakan, amplop isi uang pun disediakan. Luar biasa! Alhamdulillah, yang menghadiri tahlilan kurang lebih 700 orang. Beras hasil kiriman dari yang datang siang hari mencapai 18 karung. Ah, Mbah! Apakah ini mencerminkan kebaikan Mbah? Mudah-mudahan! Aamiin. Wallohu Alam. 

Komentar

  1. Ini catatan kultural yang menarik, terlebih dipasang di blog. Ada kemungkinan dibaca secara luas. Catatan: Bu Mimin bisa menulis praktik2 budaya yg lain, termasuk kearifan2 lokal di sana.

    BalasHapus
  2. InsyaAllah siap. Terimakasih Abah!

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

YANG BAPAK TANAMKAN

KOORDINASI MEMBANGUN SINERGITAS YANG TUNTAS